Suatu sore di perkampungan tanah Marsinah, kutemukan berbagai wajah. Ada wajah semringah yang datang membawa satu kepalan semangat, juga wajah sembrawut yang tertunduk lusuh. Dua wajah yang sangat amat berbeda. Namun, keduanya membawa sebuah nilai berharga. Kehidupan yang fana ini, perasaan yang mudah berubah, atau bayi-bayi yang mulai tumbuh, semua mengalami pergerakan. Sebagaimana benda-benda di angkasa yang juga terus berputar. Begitu pula dengan seluruh emosi di dalam tubuh manusia. Emosi berbentuk amarah dan cinta yang kadang kala berhimpitan. Menghadiahi kegetiran juga tawa yang nirasumsi.
Aku rasa hari-hari akan terus berubah. Aku berharap Allah akan menggantikan sepi-sepi juga meriahnya waktu yang telah berlalu. Kemudian, aku melihat wajah yang lain lagi setelahnya. Wajah ikhlas saat ia terpaksa dipisahkan dari sang kekasih. Wajah terenyuh penuh takut juga wajah suram. Di antara banyaknya wajah, menurutku hal paling menarik adalah melihat wajah kita sendiri. Melukisnya dengan hal-hal terbaik, warna-warni yang indah, juga cerianya semesta. Mungkin kita memerlukan kuas semesta, hijau yang gagah pada burung jantan di tanah Papua, membutuhkan kuning emas melalui tarian padi yang siap dipanen oleh petani. Mungkin perlu warna hitam muram dari muramnya langit saat akan hujan.

Komentar
Posting Komentar