Selamat Malam Semesta



Selamat semesta. 

Bunga-bunga merekah, menyempurnakan kisahku yang sudah lama dimulai. Bertemu lagi dengan suasana yang aku rindukan. Pagi laksana kerinduan yang terobati, aku merasa telah hidup seribu tahun lamanya. Aku merasa telah memenangkan semua hal yang telah aku lepaskan begitu saja. Aku menunggu 50 tahun bersama denganmu. Saat kulitku keriput, saat tanganku lemah, saat ingatanku melemah, saat engkau masih sudi memelukku dan menyaksikan cucu kita berlari seperti saat kita kecil dulu. 

Mataku selalu melukiskan kasih sayangku pada semesta. Di saat malam begitu hangat, dan aku mematrikan cintaku pada pelipismu. Aku sungguh telah memenangkan hatimu seperti apa yang aku harapkan selama ini. Suaraku telah menjawab panggilanmu,  dan raut wajahmu telah mengekspresikan bahagiamu. Usia senja yang kurindukan, saat dua mata terasa menyatu.

Hujan turun di  bumi yang telah dipijaki. Semua hal yang kuanggap telah datang dan pergi dengan normal, semuanya seakan menjanjikan akan terus terulang sampai pada penghujung usia. Dua sisi yang menerjemahkan pagi dan malam. Seperti sebuah sketsa di masa lalu yang pernah kutinggalkan. Bersama senyummu yang selalu kuingat, aku berani melangkahkan kakiku pada sejuta pertanyaan yang tak terjawab oleh hatiku. 

Matamu masih seperti dulu, aku selalu ingat tatapanmu itu. Kini ku usap matamu dengan saputangan milikku, kubersihkan tangan dan mulutmu dari sisa-sisa makanan pagi ini. Kamu nampak tampan, sungguh meskipun rambutmu memutih dan bibirmu menjadi bisu. Kamu tampak gagah, masih sama dengan yang dulu. Tentu kamu masih yang dulu. Kamu yang dulu, yang dulu benar-benar kekasihku.
Mataku adalah matamu juga, kita melihat dari mata yang sama. Aku mengenali setiap kerut di wajahmu, inilah milikku satu-satunya. Aku tak bisa menjadi ibu yang sesungguhnya, namun kamu menjadikan aku seorang ibu. Aku memiliki anak dari yang kamu setujui, aku memliki cucu dari yang kamu setujui. Aku bahkan bukan yang terbaik, kamu bisa melakukan apa pun yang bisa aku lakukan, meski tanpa aku, hidupmu akan biasa. 

Matamu, aku menatap matamu dalam sekali, meskipun hilang fungsinya. Aku menyuapi mu, ku hidangkan makanan kesukaanmu. Biar aku yang menjadi tanganmu, biar aku yang menggambarkan manisnya kehidupan ini.
“Ma, terima kasih kamu telah sudi menikahiku dulu. Aku bersyukur, memilikimu, meski sebenarnya tidak ada yang benar-benar manusia miliki, selain titipan dari Nya,” ucapku, mengelus rambut suamiku.
“Mi, terima kasih telah sudi menerima lamaranku dulu. Aku bersyukur, menikahimu. Maaf, aku sekarang menyusahkan kamu. Aku tenang di rumah ini, bersama dengan anak-anak kita dan cucu-cucu kita.” Ucap, suamiku Kamal.

Aku mengusap air matanya. Dia menangis karena terlalu berat mencintaiku. Sebaliknya aku tersenyum karena terlalu mudah mencintainya. Aku teringat akan apa yang dulu kualami, aku tak tahu. Saat itu, aku merasa berdosa telah memintanya pada Allah. Aku merasa berdosa meminta sesuatu yang aku inginkan, tetapi tak dinginkan olehnya, Kamal.

**

Pagi itu, pasar Mekarsari Jatiwangi begitu ramai. Aku menghela napas, mengingat apa yang aku lakukan untuk pernikahan ini. Mungkin, aku bukanlah wanita baik, tak bisa bibirku berhenti, mencoba mengganti nama Kamal atas nama yang terbaik dari Nya. Aku ingat, ingat di pasar itu aku melakukan sesuatu yang sebenarnya sangat tidak pantas. 

Pagi itu, 50 tahun lalu. Aku dan suamiku seperti menghadapi kepastian. Kepastian akan pernikahan yang tidak akan pernah terjadi di antara kami. Aku ingat, saat matanya menatapku dalam-dalam. Mencoba memintaku, memintaku untuk mencoba, melepaskannya. 

“Benarkah, kamu memintaku berhenti?” tanyaku.
“Jika itu bisa, kenapa kamu enggan mencobanya? Kamu bisa memulainya dengan tidak mengajakku bicara dulu.” Jawabnya di siang itu saat kerumunan manusia sibuk melakukan transaksi.
“Seandainya kamu bisa bicara seperti itu, maka apakah kamu tidak bisa memulainya? Berbicaralah denganku dulu, dan mungkin....” jelasku yang terpotong oleh bisingnya pasar saat itu.
Dua tangan itu seperti hendak memberhentikan langkahku, tapi kakiku tak bisa kuhentikan begitu saja. Tidak ada air mata yang menetes, tidak ada suara yang terlontar, tidak ada kebisingan di telingaku, seperti telah menyita semua kenyataan yang ada. Dia tidak mampu membayangkan hati kecilku. Langkahku telah jauh darinya, rasanya kaki ini sudah tidak menapak lagi, lemas tak sanggup berdiri.

Mataku terus menatap dalam-dalam sungai di hadapanku. Ada kaca yang memagari penglihatanku, seandainya dia tahu bagaimana aku membiarkan perasaanku mengalir dan mangalur seperti ini. Entah akan dibawa kemana olehnya. Rindu-rinduku yang ku simpan dalam hati, berkas kesedihanku karena kesedihannya, bingkaian mimpi-mimpinya sebagai mimpiku juga telah menggoda kerdip lilin di hati ini.
“Kamu bisa meminta penjelasan pada sungai yang selalu ku tatap ini, iya. Setidaknya kamu tahu, aku tak sanggup meninggalkan kebiasaanku ini, delapan tahun bersama, meski hanya sebatas sahabat.”teriakku pada semesta.
“Kamal, seandainya aku bisa akan kulakukan. Tapi, sungguh butiran cinta ini telah mengkristal dan entah kapan akan melenyap.” Ucapku dengan nada rendah menatap sungai.

Senja mengajakku berbincang sederhana. Nyata sudah, seisi bumi ini memintaku untuk berhenti menunggunya. Mungkin hanya aku dan hatiku ini yang terus membenarkan apa yang ingin kulakukan.
Pagi bersama denganku. Mataku menelanjangi semesta, ya meskipun cecak di dinding terus meneriakiku, aku tetap akan berpura-pura tuli dan bisu. Semua buku yang kubaca di malam sebelumnya memang benar-benar memberikan suatu rujukkan yang sama dengan rujukkan Kamal. Hatiku tetap tidak bisa, bagaimana aku memaksakan semuanya. Dia hanya membuat rumit masalah sederhana ini, aku yang perasa pun tahu kalau sebuah perasaan tidak bisa dikompromi. Kalau hendak berkompromi maka berkompromi lah dengan sang pemilik hati, jangan dengan aku yang tidak berdaya ini.

“Ais, keluarlah dari kamarmu.” teriak Ami.
“Siap Mi, tunggu Ais sedang berbenah diri.” Jawabku sambil menutup semua buku-buku yang kubaca semalam.

Setiap pagi ami selalu mengajakku untuk menyiapkan sarapan, walau kami hanya tinggal berdua. Memang benar, ami memberikanku madrasah yang teristimewa di rumah kecil ini, meskipun tanpa sosok ama. Aku sudah bisa memasak lauk, sayur, juga kue. Ami mengajari ku menjahit, membuat sebuah kerajinan dan lain-lain. Di rumah ini lah, aku benar-benar bisa belajar untuk menjadi anak yang sholehah, istri sholehah, dan juga ibu sholehah nantinya. 

Ami yang sedang menyiapkan nasi buatku bekal ke kampus terus mengajakku bercerita, Ami suka sekali menceritakan banyak hal, terutama pengalaman hidupnnya. Pagi itu Ami menanyakan Kamal, saat Ami menatapku, air mataku telah menetes memenuhi pipi. Aku tak dapat bicara, dan Ami pun tidak memintaku bicara. Ami hanya mencium keningku dan memeluk erat tubuhku.
“Allah, aku rindu Ama. Entah kenapa aku ingin cepat menikah, agar tidak ada lagi yang berani mengganggu ibuku. Suamiku nanti akan ikut menjaga kehormatan ibuku dari para tetangga itu.” Ucapku dalam hati.

Aku tak menahan air mata, ku peluk Ami erat-erat.”Sungguh Mi, Kamal pemuda yang baik. Tetap saja Allah yang tahu mana yang pantas buat Ais.” Ucapku pada Ami.
Aku baru sadar, usiaku menginjak 23 tahun dan Ami semakin menua. Aku melihat bekas tawa itu terpahat di pipinya. Meskipun begitu Ami tetap cantik dan aku sangat mencintainya.

Saat  di pasar kemarin, itulah terakhir kalinya aku melihat Kamal. Sungguh dia benar-benar melenyap. Aku tak lagi berhasil menemuinya, tak ada wangi badannya yang ku cium, tak ada juga para pedagang membicarakan dia, dan aku tidak ingin menanyakan kemana sebenarnya Kamal. Saat bertemu orang tuanya, aku hanya mencium tangan dan menyapa sederhana. Ayah Kamal terus mengajakku tersenyum begitu pula dengan ibunya. 

“Ais, kamu gadis baik dan cantik. Apa sudah ada pemuda yang datang ke rumahmu?” tanya ibu Kamal sambil menatap mataku yang berlarian menghindari mata yang menatapnya.
“Sebetulnya, sudah ada. Tetapi, belum sampai pada keinginan, maksudnya masih sebatas teman saja tidak berlanjut.” Jawabku.
“Nak, Kamal sedang menyelesaikan tugasnya. Katanya empat tahun akan berakhir, ini tahun terakhirnya.” Jelas ibu Kamal.
“Iyah, Ais tahu itu. Nanti kalau Kamal menikah, Ais akan menikah juga. Itu yang dulu sempat Ais janjikan sama Kamal.” Ucapku sambil menahan kesedihan.

Mataku kini benar-benar lepas dari kelopaknya. Aku merasa dihibur oleh alam, setidaknya aku mampu mengatakan bahwa aku akan melihat dia menikahi gadis impiannya. Tak apa, doa-doaku telah menjuntai membentuk tangga, begitu pula dengan rinduku selama ini, ini berbuah kesabaran. Nanti, akan ku ceritakan bahwa setiap perasaan memiliki sebuah nilai. Meski tak sampai pada mimpiku, setidaknya bingkai mempinya yang sampai. Mimpi Kamal sudah tercapai dan aku bahagia.
Mataku terus menatapnya. 50 tahun yang indah.  


Cirebon, 23 ‎Oktober ‎2015, ‏‎20:11:00

Komentar

  1. Ini cerita membuktikan bahwa ga ada yg ga mungkin dengan takdir Allah. 😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyah ya Feh. Kalau Allah sudah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin.

      Hapus

Posting Komentar