Atikah, Jaki Yudin,
Nurul Atikah Fauzi
Mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas
Swadaya Gunung Jati Cirebon
ABSTRAK
Model kontekstual
berbasis Digeur en Singter ialah sebuah model yang menitikberatkan pada proses
pembelajaran berbasis karakter falsafah Sunda. Teks sastra dongeng sebagai
sarana bagi peserta didik untuk mengintegrasikan nilai-nilai atau karakter
Digeur en Singter ke dalam sebuah tulisan. Pentingnya memasukkan muatan lokal
ke dalam pembelajaran ialah untuk menguatkan dan menumbuhkan kecintaan peserta
didik terhadap daerahnya sendiri. Peserta didik diharapkan mampu mengangkat
eksistensi kearifan lokal dalam dunia literasi dengan memproduksi sebuah tulisan
(literasi) yang bermuatan lokal agar nilai lokalitas tidak tergerus seiring
kemajuan zaman.
Kata
kunci: Model Kontekstual, Digeur en Singter, dan Teks
Sastra Dongeng.
Pendahuluan
Salah satu masalah yang
perlu mendapat perhatian di era globalisasi sekarang ini adalah masalah
identitas kebangsaan. Derasnya arus globalisasi dikhawatirkan akan berdampak
pada terkikisnya rasa kecintaan terhadap budaya lokal. Agar eksistensi budaya
lokal tetap kukuh, maka generasi penerus bangsa perlu ditanamkan rasa cinta
terhadap budaya daerah. Salah satu cara yang dapat ditempuh guru di sekolah
adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses
pembelajaran di sekolah melalui literasi. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai
kearifan lokal ke dalam pembelajaran diharapkan kecintaan terhadap tanah air
serta budaya lokal akan tetap terjaga.
William Burton dalam
Hamalik (2008) bahwa belajar merupakan suatu proses usaha seseorang untuk
memperoleh perubahan suatu tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Selain itu, Gulo
(2002) juga menyebutkan bahwa belajar merupakan proses berlangsung dalam diri
seseorang yang mengubah tingkah laku, baik tingkah laku dalam berpikir,
bersikap, dan berbuat. Berdasarkan dua pengertian tersebut, pembelajaran bukan
hanya mengenai transfer ilmu pengetahuan yang berupa ingatan mengenai
fakta-fakta, melainkan pula berupa perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah
laku tersebut berupa perilaku yang mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh di
tempat peserta didik tinggal, misalnya karakter Digeur en Singter yang
merupakan filosofis Sunda.
Diger
en Singter merupakan akronim dari cageur,
bageur, beneur, singeur, dan pinter. Mengacu pada UU No 20 tahun 2003 tentang pendidikan
nasional bahwa pendidikan tidak hanya membangun kemampuan melainkan juga
membentuk watak dan peradaban bangsa, maka watak atau karakter Diger en Singter
ini perlu ditanamkan ke dalam diri peserta didik. Diger en Singter merupakan
nilai karakter yang harus diperhatikan dalam pembentukan karakter peserta didik
sebagai pertahanan diri serta peningkatan kemampuan bersaing di tengah maraknya
MEA. Melalui literasi, Diger en Singter dapat dihayati serta menjadi sumber
energi dalam mencipta, memperbaharui, mengubah, memperkaya ilmu pengetahuan
serta teknologi. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, karakter Digeur en
Singter salah satunya dapat diterapkan pada pembelajaran teks dongeng.
Pada
pembelajaran kontekstual, guru dapat mengaitkan materi teks dongeng dengan
situasi konkret. Dengan demikian, siswa dapat menghubungkan nilai-nilai
karakter Digeur en Singter ke dalam pembelajaran dongeng dengan tujuan
terbentuknya karakter manusia yang pintar dan memiliki nurani. Oleh karena itu,
makalah ini membahas mengenai penerapan model kontekstual berbasis Diger en
Singter pada teks dongeng.
Pembahasan
Contextual
Teaching and learning
(CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan
kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang
dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.[1]
Berdasarkan pengertian tersebut, model kontekstual menitikberatkan pada
keaktifan siswa dalam sebuah pembelajaran. Siswa dapat menghubungkan materi
yang dipelajarinya dengan situasi yang konkret, berkenaan dengan kehidupannya
sehari-hari. Model kontekstual menjadikan siswa akan lebih peka terhadap
lingkungan. Guru berperan dalam mendorong siswa untuk membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, guru dituntut untuk menciptakan
lingkungan belajar yang berupa gabungan bentuk pengalaman dengan maksud
tercapainya hasil belajar yang diharapkan.
Ditjen
Dikdasmen (2003: 10-19) menyebutkan tujuh komponen utama pembelajaran
kontekstual, yaitu: Konstruktivisme
(construkrivism). Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit,
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus merekonstruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Menemukan (inquiry). Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri melalui siklus: (1)
observasi (observation), (2) bertanya
(questioning) (3) mengajukan dugaan (hipotesis) (4) pengumpulan data (data gathering), dan penyimpulan (conclussion).
Bertanya (questioning). Pengetahuan yang
dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bagi guru, bertanya dipandang
sebagai kegiatan untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir
siswa. Bagi siswa, bertanya merupakan bagian penting dalam melakukan inquiri,
yaitu menggali informasi, menginformasikan apa yang sudah diketahui, dan
mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya
Masyarakat belajar
(learning community).
Hasil
pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Guru disarankan
selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar.
Pemodelan (modelling). Dalam
pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru.
Guru dapat menjadi model, misalnya memberi contoh cara mengerjakan sesuatu.
Tetapi, guru bukan satu-satunya model, artinya model dapat dirancang dengan
melibatkan siswa, misalnya siswa ditunjuk untuk memberi contoh pada temannya,
atau mendatangkan seseorang di luar sekolah, misalnya mendatangkan veteran
kemerdekaan ke kelas.
Refleksi (reflection).
Cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang
tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang
baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan
pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon
terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya,
ketika pelajaran berakhir, siswa merenung “kalau begitu, sikap saya selama ini
salah, ya! Seharusnya, tidak membuang sampah ke sungai, supaya tidak
menimbulkan banjir”.
Penilaian yang
sebenarnya (authentic essessment).
Kemajuan
belajar dinilai dari proses, bukan semata hasil, dan dengan berbagai cara.
Penilaian dapat berupa penilaian tertulis (pencil
and paper test) dan penilaian berdasarkan perbuatan (performance based assessment), penugasan (project), atau portofolio (portfolio).[2]
Digeur en
Singter adalah akronim atau pemendekan dari Cageur, Bageur, Bener, Singer,
Pinter. Kata ‘Di’ berasal dari bahasa
ilmiah yang berarti ‘dua’ kemudian ‘geur’
diambil dari suku kata terakhir Cageur
dan Bageur, yang berarti terdapat ‘dua
geur=digeur’. Kemudian kata ‘en’
diambil dari dua huruf tengah kata Bener.
Lalu ‘sing’ diambil dari suku kata
awal dari Singer serta ‘ter’ diambil dari suku kata terakhir
dari pinter. Meskipun terdengar agak
aneh penyingkatan dari lima kosa kata Sunda tersebut, tetapi cermati bagaimana
makna filosofis yang terkandung didalamnya. Digeur en Singter sebenarnya adalah
sebuah perangkat/kesatuan etos dan watak/karakter yang dijadikan jalan menuju
keutamaan hidup pada masyarakat Sunda.
Cageur mengandung
makna sehat jasmani dan rohani. Bageur berperilaku
baik, sopan santun, ramah, bertata krama.
Bener yaitu jujur, amanah, penyayang
dan takwa. Pinter, memiliki ilmu
pengetahuan. Singer
artinya kreatif dan inovatif.[3]. Berdasarkan pengertian tersebut, Digeur en Singter dapat dikatakan
sebagai pedoman, suatu nilai-nilai yang harus diterapkan dalam diri setiap
anggota masyarakat sejak dini. Pada dasarnya filosofi Digeur en Singter akan
membangun karakter seseorang. Dimulai dari cageur
yang berarti harus mengutamakan sehat disamping yang lain, maka dengan sehatnya
akal kita, jiwa kita, raga kita tentu semua yang akan dilakukan pun akan sesuai
dengan tujuan yang diinginkan. Lalu dengan bageur
seseorang akan lebih menghargai orang lain, meningkatkan kebersamaan dengan
sesama atau dapat dikatakan akan memiliki jiwa sosial. Kemudian, setelah jasmani
dan rohani kita sehat segala tindakan kita sesuai aturan, tidak melanggar norma
dan mampu menghargai hak-hak orang lain disitulah kita memupuk sifat-sifat yang
bener sebagai orang yang dapat
dipercaya oleh yang lain. Buah dari kepercayaan orang lain ini juga harus
diimbangi dengan singer yang
menjadikan sosok yang tetap rendah hati dan tetap merefleksi diri terhadap
suatu saran atau kritikan, ditambah pinter
yang menelurkan orang-orang yang berilmu dengan tetap berpegang teguh terhadap
agama. Jika dikaitkan dengan pendidikan, nilai-nilai Digeur en Singter ini
harus ditanamkan dalam diri siswa dan sangat cocok jika diterapkan ke dalam
pembelajaran di sekolah. Filosofis ini sebagai sarana mengenalkan kearifan
lokal kepada siswa sedini mungkin, dengan harapan mampu menanamkan nilai
karakter yang baik dengan memadukan antara kecakapan intelektual, kecakapan
sosial, juga kecakapan spiritual.
Pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona,
tanpa ketiga aspek ini, pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan
pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan,
peserta didik akan memiliki kecerdasan
emosi. Kecerdasan emosi ini
adalah
bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang
akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan,
termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis (Suyatno, 2009)
Menurut
Michael Novak (dalam Lickona, 2013: 81) karakter merupakan “campuran kompatibel
dari seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra,
kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah. Kemudian
Filosof Yunani Aristoteles mendefinisikan karakter yang baik sebagai hidup
dengan tingkah laku yang benar-tingkah laku yang benar dalam hal ini
berhubungan dengan orang lain dan berhubungan dengan diri sendiri. Aristoteles
mengingatkan kita tentang sesuatu di zaman modern ini cenderung kita lupakan :
Hidup dengan budi pekerti yang berarti menjalani kehidupan dengan berbudi baik
untuk diri sendiri (misalnya kontrol diri dan tidak berlebih-lebihan) maupun
untuk orang lain (seperti kedermawanan dan rasa simpati), dan kedua macam budi
pekerti ini saling berhubungan. Kita harus bisa mengontrol diri-hasrat kita,
nafsu kita-agar bisa melakukan hal yang benar pada orang lain.
Cageur, bageur,
bener berkenaan dengan kehidupan yang
baik yang menggambarkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, dalam kehidupan keseharian berupa moral dan akhlak mulia yang dilakukan dalam bentuk hidup bersih dan
sehat lahir batin, dan disiplin dalam
melaksanakan rukun, aturan dan ketentuan yang berlaku. Nilai-nilai ini berlaku
untuk semua orang sebagai warga
masyarakat atau bangsa, wajib dilakukan sebagai syarat menjadi warga negara
yang baik (civic responsibility). Pinter dan singer sering dikaitkan
dengan maher. Pinter, singer,
maher bertautan dengan
kecerdasan, keterampilan dan kemahiran atau keahlian yang harus dilandasi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
betapapun sederhananya. Nilai-nilai ini diperlukan untuk mengembangakan
diri secara kompetitif, kooperatif, dan demokratis dalam berbagai bidang
kehidupan sesuai dengan kelompok-kelompok manusia yang meminatinya (Engkoswara,
2002).
Teks dongeng
merupakan salah satu materi ajar bahasa Indonesia bergenre sastra. Dongeng dan
berbagai cerita rakyat yang lain dipandang sebagai sarana ampuh untuk
mewariskan nilai-nilai, dan untuk masyarakat lama itu dapat dipandang sebagai
satu-satunya cara (Nurgiyantoro,
2005: 199). Oleh karena itu, teks dongeng dipilih sebagai sarana yang tepat
untuk menyampaikan nilai-nilai karakter terlepas dari definisi teks dongeng
tersebut. Sebab, strategi penanaman nilai karakter ini harus tepat sasaran.
Teks dongeng dipilih karena memiliki daya tarik dari segi cerita yang mampu
menarik minat peserta didik sehingga penanaman nilai yang terkandung dalam teks
dongeng akan tersampaikan dengan baik. Dengan demikian, melalui teks dongeng
siswa dapat mengintegerasikan nilai-nilai kearifan lokal seperti falsafah Sunda
Digeur en Singter. Dalam hal ini, guru perlu menyusun perencanaan yang matang
dalam pelaksanaan pembelajaran. Seperti halnya dalam pemilihan metode atau
model pembelajaran, salah satu model pembelajaran yang dapat dipilih dan digunakan ialah model
pembelajaran kontekstual.
Kita
dapat menghubungkan nilai digeur en singter dan model kontekstual dalam
mengembangkan budaya literasi. Sebab, model kontekstual menekankan kepada proses
keterlibatan siswa agar mampu mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi
sekarang kemudian menerapkannya di dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, kita dapat memanfaatkan model kontekstual dalam menerapkan nilai-nilai digeur en singter.
Dalam
memproduksi teks dongeng, model kontekstual berbasis karakter Digeur en Singter
ini akan mengaitkan pengalaman siswa dalam kegiatan pembelajaran agar
pembelajaran lebih bermakna. Siswa diarahkan untuk merekonstruksi pengetahuannya mengenai teks
dongeng beserta pengalamannya sehingga hasil produksinya dapat digunakan di
dalam kehidupan sehari-hari.
Teks
dongeng merupakan salah satu jenis teks sastra yang dapat difungsikan sebagai
mediator atau alat untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter bangsa, nilai
lokalitas, seperti Digeur en Singter sebagai falsafah Sunda. Di dalam menulis
sebuah teks dongeng, siswa harus memiliki pengetahuan lain berkenaan dengan
tema yang akan diangkat beserta unsur intrinsik dan ekstrinsik lainnya. Dalam
hal ini, peserta didik dapat diarahkan untuk menggali nilai-nilai digeur en
singter di dalam kehidupan sehari-hari sehingga nilai-nilai tersebut akan
menjadi dasar dalam pemproduksian teks dongeng.
Selain
mencetak pribadi yang unggul akademik, peserta didik haruslah dibekali nilai-nilai
kebudayaan. Oleh karena itu, dengan adanya rekonstruksi nilai digeur en singter
ke dalam model pembelajaran kontekstual diharapkan siswa dapat menghayati
nilai-nilai tersebut sampai membentuk karakter manusia pintar dengan nurani.
Kesimpulan
Digeur en Singter merupakan nilai
lokal Sunda yang perlu diangkat ke dalam sebuah dunia pendidikan. Nilai lokal
ini dapat dimasukkan ke dalam pembelajaran di sekolah, misalnya dalam hal ini
ialah pembelajaran teks dongeng. Dengan dimuatnya nilai-nilai lokal di dalam
sebuah teks akan berfungsi untuk membumikan nilai-nilai lokal, menjaga, serta
mengembangkan kekayaan lokal.
Pendekatan
kontekstual berusaha mengaitkan materi pelajaran dengan situasi konkret yang
dialami peserta didik di dalam kehidupan sehari-hari. Melalui model ini,
peserta didik dapat menemukan makna dari proses belajar sehingga tercapailah
tujuan pendidikan. Proses belajar tidak hanya berorientasi pada peningkatan
keintelektualan peserta didik, namun juga berupa perubahan tingkah laku atau
sikap dan keterampilan. Oleh karena itu, betapa penting menanamkan nilai-nilai
lokal, seperti pepatah mengatakan, “di mana bumi dipijak di sanalah langit
dijunjung”, maka kebudayaan serta nilai-nilai suatu masyarakat haruslah hidup
di dalam suatu pendidikan, seperti halnya nilai Digeur en Singter.
DAFTAR PUSTAKA
Deny Setiawan, Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial: Pendidikan Kewarganegaraan
Berbasis Karakter melalui Penerapan Pendekatan Pembelajaran Aktif, Kreatif,
Efektif dan Menyenangkan.Vol.6
No.2 Medan 2014, 67.
Engkoswara. (2002).
Lembaga Pendidikan Sebagai Pusat Pembudayaan: Hidup Harmoni di Keluarga,
Sekolah dan di Masyarakat . Bandung: Yayasan Amal Keluarga.
Gulo,W.(2002). Startegi Belajar Mengajar. Jakarta:Grasindo
Komalasari, Kokom.
(2013). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT. Refika
Aditama. (Hal. 11-13).
Lickona,
Thomas. 2013. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility (Mendidik
untuk Membentuk Karakter:
Bagaimana Sekolah dapat Mengajarkan
Sikap Hormat dan Tanggung
Jawab). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Lickona,
Thomas. 2013. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi
Pintar dan Baik. Bandung: Nusa Media.
Nurgiyantoro, B. 2005.
Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Priyadi Surya, Jurnal Manejemen Pendidikan:
Kepemimipinan Perempuan Bernilai Kesundaan di Bidang Kependidikan. Thn VI No.02
Yogyakarta 2010, 4.
Sanjaya, Wina. (2006).
Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
(Hal. 255).
[1] Sanjaya, Wina. (2006). Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. (Hal.
255)
[2]
Komalasari, Kokom. (2013). Pembelajaran Kontekstual Konsep
dan Aplikasi. Bandung: PT. Refika Aditama. (Hal. 11-13).
[3]Priyadi Surya, Jurnal Manejemen Pendidikan: Kepemimpinan
Perempuan Bernilai Kesundaan di Bidang Kependidikan. Thn VI No.02 Yogyakarta
2010, 4.

Komentar
Posting Komentar