Tema ketuhanan banyak dipilih oleh berbagai penyair atau penulis dari masa ke masa. Misalnya, puisi karya Chairil Anwar berjudul “Doa” yang memiliki tema ketuhanan, novel Ayat-Ayat Cinta 2 karya Habiburrahman El Shirazy yang juga menggambarkan tema islam rahmatan lil ‘alamin, dan karya sastra lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tema ketuhanan selalu memiliki ruang dari masa ke masa karena berhubungan dengan pengalaman spiritual penyair. Seperti yang dikatakan oleh Luxemburg, Bal, dan Weststeijin (Amir, 2013: 3), sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan.
Puisi adalah suatu pernyataan yang menyanangkan dan muncul dari suatu kemampuan penyairnya ketika melihat sesuatu secara antusias dengan jurus yang tepat. Penyair menyampaikan hasil penglihatannya dalam bentuk puisi. (Semi, 1988: 84). Karya sastra seringkali menyajikan pesan tertentu untuk pembaca sehingga dengan membaca karya sastra, ia tidak hanya mendapatkan hiburan tetapi juga nilai tertentu. Hal demikian juga ditemukan pada puisi berikut.
Rumah
Kita Cahaya
Kalau rumah kita cahaya penghuninya pastilah kerumunan lebah
Menawafi cahaya bahkan kadang terbakar sayapnya dalam peluk cinta
Sayapsayap patah karena tak kuasa menahan apinya
Kalau rumah kita cahaya atapnya teduh tak terkira
Cermin yang memendarkan cahaya berisra' dalam kerinduan semesta
Mengetukketuk langit bergelantungan dalam rimbun cahaya pasrah
Lalu Cahaya menuntunnya dalam tumakninah sujud wangi bunga
Bermi'raj penuh genangan tadhiyyah
Kalau rumah kita cahaya
Ujaran yang keluar adalah bening telaga
Berkilaukilau dekil sehabis lelah usia
Siasia dalam kata dalam kerja dalam umpatan menggema dalam gelap goa
Dibasuhnya berkalikali mandi berkalikali dalam kecipak ikan dan ganggang
bertasbih
Sepasang angsa saling menyapa penuh cinta tanpa jelaga di jantungnya
Kalau rumah kita cahaya
Bilik-biliknya ada rahasia
Kamar berdegup kamar kuyup
Bilik menyimpan bilik memendam
Tak sembarang orang
Bisa membuka kecuali ia sendiri cahaya terang
Kalau rahasia terbuka kita bukan lagi cahaya
Hanya sedebu kerlip di sayap kunangkunang patah
Kalau rumah kita cahaya
Dindingnya adalah akhlakul karimah
Senyum tanpa memyimpan angkara
Rindu tanpa meniadakan selainnya
Pendarpendar tanpa menyilaukan mata
Sejuk zamzam pada kering sahara
Kalau rumah kita cahaya
Pemilik sejatinya hanyalah Cahaya Maha Cahaya
SHT, 250420
Sebuah karya sastra,
Rumah
Kita Cahaya
Kalau rumah kita cahaya penghuninya pastilah kerumunan lebah
Menawafi cahaya bahkan kadang terbakar sayapnya dalam peluk cinta
Sayapsayap patah karena tak kuasa menahan apinya
Puisi berjudul “Rumah Kita Cahaya” mengandung makna yang mendalam. Rumah memiliki arti bangunan tempat manusia tinggal dan cahaya bermakna sinar atau terang. Artinya, tempat tinggal yang terang atau bersinar. Adapun cahaya dalam puisi di atas adalah ilmu, cahaya Alquran, cahaya iman. Hal demikian terdapat pada ayat Alquran sebagai berikut.
“Dahulu kamu -Muhammad- tidak mengetahui apa itu al-Kitab dan apa pula iman, akan tetapi kemudian Kami jadikan hal itu sebagai cahaya yang dengannya Kami akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba-hamba Kami yang Kami kehendaki.” (QS. asy-Syura: 52)
Adapun dalam puisi di atas, penyair mengungkapkan bahwa bila rumah kita adalah cahaya, maka penghuninya adalah lebah. Lebah sendiri adalah serangga yang berbulu, bersayap, dan hidup dari madu kembang. Namun demikian, makna lebah dalam puisi di atas tidak hanya mengenai hewan, tetapi seperti perumpamaan mukmin sebagai lebah yang disampaikan dari Abdullah bin Amru radhiallahu’anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya perumpamaan mukmin itu bagaikan lebah yang selalu memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik. Ia hinggap (di ranting) namun tidak membuatnya patah dan rusak.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir)
Lebah adalah salah satu serangga yang memiliki keunikan tertentu. Seorang mukmin yang diumpamakan lebah, maka ia memakan yang halal dan menjauhi yang haram. Mukmin tersebut juga hanya melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat sebagaimana lebah yang menghasilkan madu untuk manusia. Manusia yang diumpamakan lebah tidak melakukan kerusakan, bahkan menjadi kebaikan untuk sesama. Lebah juga menggambarkan adanya etos kerja yang tinggi (Barrusalam dalam artikelnya “Seorang Mukmin Bagaikan Lebah”). Adapun berikut adalah penjelasan mengenai lebah menurut ulama.
“Sisi kesamaannya adalah bahwa lebah itu cerdas, ia jarang menyakiti, rendah (tawadlu), bermanfaat, selalu merasa cukup (qona’ah), bekerja di waktu siang, menjauhi kotoran, makananya halal nan baik, ia tak mau makan dari hasil kerja keras orang lain, amat taat kepada pemimpinnya, dan lebah itu berhenti bekerja bila ada gelap, mendung, angin, asap, air dan api. Demikian pula mukmin amalnya terkena penyakit bila terkena gelapnya kelalaian, mendungnya keraguan, angin fitnah, asap haram, dan api hawa nafsu.” (Faidlul Qadiir, 5/115)
Dengan memahami penjelasan dari Alquran dan hadis, maka lebah merupakan serangga yang banyak manfaatnya. Dalam puisi di atas, maka mereka yang memiliki keimanan hatinya juga diseumpamakan lebah. Rumah kita cahaya merujuk pada cahaya keimanan terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lebah pun digambaran sebagai hewan yang cerdas, rendah hati, jarang menyakiti, bermanfaat, merasa cukup, bekerja keras, menjauhi hal yang kotor, memakan yang halal, dan taat pada pemimpin. Demikian adalah gambaran apabila rumah kita cahaya.
Pengarang kembali menggambarkan rumah kita cahaya pada bait berikut ini.
Kalau
rumah kita cahaya atapnya teduh tak terkira
Cermin yang memendarkan cahaya berisra' dalam kerinduan semesta
Mengetukketuk langit bergelantungan dalam rimbun cahaya pasrah
Lalu Cahaya menuntunnya dalam tumakninah sujud wangi bunga
Bermi'raj penuh genangan tadhiyyah
Pada bait di atas, penyair menggambarkan apabila rumah kita adalah cahaya, maka atapnya teduh tak terkira. Kata teduh menandai kondisi rumah yang terlindungi atau tidak terkena panas matahari dan hujan. Namun demikian, maka teduh dalam bait di atas tidak hanya secara fisik, tetapi juga batin. Penyair juga menggunakan diksi isra dan miraj. Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis, berdasarkan firman Allah sebagai berikut.
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)
Adapun mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik. Adapun secara istilah, mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, berdasarkan firman Allah dalam surat An Najm ayat 1-18 (Syarh Lum’atil I’tiqaad li, Syaikh Ibnu ‘Utsmaimin 58-59, dalam artikel Andika, 2012). Dalam puisi di atas, penyair menggambarkan cermin yang menjadikan cahaya berisra’ sehingga menuntun manusia untuk melakukan ibadah. Kemudian, bermi’raj dengan penuh pengorbanan. Dalam bait kedua, penyair mengingatkan pembaca akan perjalanan yang dilakukan Rasulullah pada suatu malam. Adapun perkara yang diwajibkan adalah salat lima waktu.
Kalau
rumah kita cahaya
Ujaran yang keluar adalah bening telaga
Berkilaukilau dekil sehabis lelah usia
Siasia dalam kata dalam kerja dalam umpatan menggema dalam gelap goa
Dibasuhnya berkalikali mandi berkalikali dalam kecipak ikan dan ganggang bertasbih
Sepasang angsa saling menyapa penuh cinta tanpa jelaga di jantungnya
Pada penggalan tersebut, penyair mengandaikan apabila rumah kita cahaya, maka ujaran yang keluar adalah bening telaga. Hal demikian menunjukkan bahwa apabila manusia penuh ilmu, mengimani Alquran, maka setiap perkataannya adalah sesuatu yang baik, jernih. Ujaran yang keluar menjadikan pendengarnya melepaskan dahaga. Adapun telaga tersebut juga memiliki keterkaitan dengan telaga Rasulullah, yakni pada hadis sebagai berikut.
“Sesungguhnya setiap Nabi memiliki telaga (pada hari kiamat nanti), dan mereka saling membanggakan siapa di antara mereka yang paling banyak orang yang mendatangi telaganya (dari umatnya), dan sungguh aku berharap (kepada Allah Ta’ala) bahwa akulah yang paling banyak orang yang mendatangi (telagaku)” HR at-Tirmidzi (no. 2443) dan ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul Kabiir” (no. 6881), juga dari jalur lain (no. 7053) dari sahabat Samurah bin Jundub.
Abdullah bin Taslim al-Buthoni dalam artikelnya yang berjudul “Telaga Kemuliaan Rasulullah pada Hari Kiamat” menjelaskan bahwa mengimani telaga Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam merupakan kewajiban setiap muslim. Hal tersebut berkaitan dengan keimanan pada hari akhir. Dengan demikian, penyair hendak menggambarkan bahwa cahaya ilmu, cahaya Islam mengantarkan pada telaga Rasulullah. Dalam bait tersebut juga penulis menggambarkan dosa-dosa yang telah dimiliki manusia. Dalam hal ini, penyair menggambarkan bahwa orang-orang pilihan-Nya lah yang dapat menikmati telaga Rasulullah.
Kalau
rumah kita cahaya
Bilik-biliknya ada rahasia
Kamar berdegup kamar kuyup
Bilik menyimpan bilik memendam
Tak sembarang orang
Bisa membuka kecuali ia sendiri cahaya terang
Kalau rahasia terbuka kita bukan lagi cahaya
Hanya sedebu kerlip di sayap kunangkunang patah
Penyair menggambarkan kehidupan seseorang yang memiliki ilmu, menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup. Ia senantiasa menjaga rahasia, misalnya dalam menasihati sesama dengan cara tidak terang-terangan. Seumpama di dalam rumah, seorang istri yang memiliki keimanan tidak akan membuka aib suaminya. Hal demikian merupakan bagian dari keimanan, karena dalam Sunan At-Tirmidzi (2032) dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasululla dulu berdiri di atas mimbar lalu menyeru dengan suara yang keras: ’Wahai sekumpulan manusia yang merasa aman dengan lisan dan yang tidak menjadikan iman dalam hatinya. Janganlah kalian mengganggu muslimin, janganlah kalian mencela mereka, dan janganlah kalian mencari aib mereka. Barangsiapa yang mencari aib saudaranya muslim maka Allah akan membuka aibnya. Dan barang siapa yang Allah buka aibnya maka allah membongkar keburukannya walaupun dia bersembunyi.’” Hadis tersebut dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi.
Penyair menggambarkan bahwa manusia begitu banyak aib yang ditutupi oleh Allah, apabila aib tersebut dibukakan, maka ia hanya seperti sedebu kerlip di sayap kunang-kunang patah. Larik, “Kalau rahasia terbuka kita bukan lagi cahaya/ Hanya sedebu kerlip di sayap kunangkunang patah/” tersebut memuat nasihat atau maksud bahwa Allah telah menutupi aib-aib manusia yang apabila disingkapkan, maka begitu berlumurnya manusia dengan dosa. Dalam bait tersebut, penyair menggambarkan bahwa seseorang yang memiliki cahaya keimanan hendaknya menutupi aibnya dan aib saudaranya sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alahi wa sallam.
Kalau
rumah kita cahaya
Dindingnya adalah akhlakul karimah
Senyum tanpa memyimpan angkara
Rindu tanpa meniadakan selainnya
Pendarpendar tanpa menyilaukan mata
Sejuk zamzam pada kering sahara
Kalau rumah kita cahaya
Pemilik sejatinya hanyalah Cahaya Maha Cahaya
Pada bait di atas, peyair mengatakan apabila rumah kita cahaya, maka dindingnya adalah akhlakul karimah. Larik tersebut memiliki maksud bahwa seorang yang hatinya berilmu, beriman, maka tergambarkan melalui sikap, perilaku, dan perbuatan baiknya. Adapun sikap atau perilaku tersebut dapat berupa senyuman yang jujur dan tulus, rindu segala sesuatu karena Nya, tidak terperdaya dengan kefanaan dunia, dan menjadi penyejuk bagi sesama. Penyair mengungkapkan lagi pesan bahwa seseorang yang memiliki keimanan mengetahui bahwa sejatinya dirinya dan segala yang ada padanya adalah milik Allah Subhanahu wa ta’ala. Hal tersebut tergambar melalui larik, “Kalau rumah kita cahaya/ Pemilik sejatinya hanyalah Cahaya Maha Cahaya.”
Pesan yang disampaikan oleh pengarang tergambar melalui perkataan Ibnul Qoyyim –rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu adalah kehidupan dan cahaya. Sedangkan, kebodohan adalah kematian dan kegelapan. Semua keburukan penyebabnya adalah tidak adanya kehidupan (hati) dan cahaya. Semua kebaikan sebabnya adalah cahaya dan kehidupan (hati). Sebaliknya, kebodohan dan keburukan yang disebabkan oleh kematian hati dan tidak takutnya kepada yang buruk. Ini seperti kehidupan di mana hujan adalah sebab kehidupan segala sesuatu.” Allah berfirman:
“Allah Pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang becahaya seperti mutiara yang dinyalakan di dalamnya dengan minyak dan pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah (barat)nya, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (belapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. an-Nuur: 35)
Dengan memahami penjelasan di atas, maka puisi yang berjudul “Rumah Kami Cahaya” menggambarkan seorang mukmin yang berilmu, yakni yang menjadikan Alquran dan sunnah sebagai pedoman hidup. Ilmu agama sebagaimana cahaya yang menerangi kegelapan manusia pada masa jahiliyyah. Dengan menjadi seorang yang berilmu, ia dapat memahami kehidupan dunia yang hanya sementara, dan kehidupan akhirat yang kekal. Alquran dan sunnah Rasulullah menjadikan manusia terlepas dari jerat dunia yang fana. Seorang mukmin yang berilmu dapat menjalankan kehidupan sebagaimana seharusnya, yakni dengan terfokus pada tujuan ibadah kepada-Nya. Ia bagaikan lebah yang senantiasa memberikan manfaat. Dengan hadirnya ilmu, kehidupan yang gelap menjadi terang benderang.
Wallahu ‘alam.
Daftar Pustaka
Abdullah bin Taslim al-Buthoni. “Telaga Kemuliaan Rasulullah pada Hari Kiamat.” Diakses dari: https://muslim.or.id/4624-telaga-kemuliaan-rasulullah-pada-hari-kiamat.html. 30-04-2020, 15:56.
Adika M. 2012. “Kisah Isra’ Mi’raj”. Diakses dari: https://muslim.or.id/9377-kisah-isra-miraj.html. 30-04-2020-, 15: 53.
Amir. (2013). Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Andi.
Ari Wahyudi. 2019. “Secercah Cahaya di Tengah Gulita”. Diakses dari: https://muslim.or.id/10509-secercah-cahaya-di-tengah-gulita.html. 30-04-2020, 16.04.
Badrusalam. 2017. “Seorang Mukmin Bagaikan Lebah.” Diakses dari https://muslim.or.id/29529-seorang-mukmin-bagaikan-lebah.html. 30-04-2020, 15:02.
Putri Maulidia. 2018. “Jalahan Lisanmu dari Ghibah.” Diakses dari: https://muslimah.or.id/9986-jagalah-lisanmu-dari-ghibah.html 30-04-2020, 15: 58
Semi, Atar. (1988). Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa.
Triani Pradina. 2016. “Jadilah Pencari Cahaya”. Diakses dari: https://muslimah.or.id/8593-jadilah-pencari-cahaya.html. 30-04-2020-, 16.00
Komentar
Posting Komentar