Kehidupan dengan mobilitas yang tinggi mengarah pada berbagai kebutuhan. Salah satunya kebutuhan akan bahan bacaan yang bersifat relevan dan representatif menggambarkan berbagai fenomena yang terjadi. Seperti halnya dalam karya sastra, Prijanto, dkk. (Endraswara, 2013: 14) menjelaskan bahwa karya sastra sebagai bentuk ekspresi dari suatu masyarakat yang dapat memperlihatkan pandangan suatu masyarakat. Hal demikian menunjukkan bahwa karya sastra merupakan cerminan suatu masyarakat atau kejiwaan seorang pengarang. Luxemburg, Bal, dan Weststeijin (Amir, 2013: 3) juga menyatakan sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata imitasi. Sastra sebagai suatu luapan emosi yang spontan. Dengan demikian, karya sastra merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk menuliskan realitas kehidupan umat manusia.
Selanjutnya, karya sastra dapat dimaknai sebagai bentuk realitas imajiner pengarang yang dapat berupa puisi, prosa, dan drama. Dalam hal ini, penulis terfokus pada karya sastra puisi. Puisi adalah karya sastra yang berisikan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dalam sebuah strtuktur yang disebut struktur fisik dan batin (Waluyo, 2002: 25). Selain itu, puisi dapat dimaknai sebagai pernyataan yang menyenangkan dan muncul dari suatu kemampuan penyairnya dalam melihat sesuatu secara antusias dengan strategi yang tepat. Penyair menyampaikan hasil penglihatannya dalam bentuk puisi (Semi, 1988: 84). Puisi juga dapat diartikan sebagai karya sastra yang berupa hasil imajinasi penyair yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan (Dalman, 2015: 122).
Adapun dalam hal ini, terdapat berbagai puisi yang dituliskan dengan maksud menggambarkan persoalan sosial atau kondisi batin seorang pengarang. Misalnya, puisi berjudul “Jembatan” karya Sutardji yang menggambarkan masalah sosial. Puisi berjudul “Muslim Zuhud” merupakan puisi yang menggambarkan sikap zuhud manusia yang mengarah pada kehidupan yang sesungguhnya. Tema atau topik yang disampaikan oleh penyair tentunya relevan dengan kondisi manusia secara umum. Misalnya, dalam menghadapi kehidupan dunia seolah-olah kehidupan yang abadi dan melupakan akhirat. Hal demikian mencerminkan situasi masa kini di tengah persaingan, mobilitas teknologi, dan arus informasi. Dengan membaca karya sastra, seorang pembaca tidak hanya mendapatkan hiburan, tetapi juga pesan yang dapat menggambarkan realitas kehidupan. Berikut adalah puisi berjudul “Muslim Zuhud”.
Muslim Zuhud
Muslim zuhud itu seperti samudera
Kalau dia menolak cahaya matahari maka
Diuapkan airnya menjadi awan agar manusia
Mampu menunggu harapan hujan
Ia seperti sungai
Saat air memenuhi punggungnya maka
Sebagian diserapnya ke dalam tanah
Menumbuhkan tumbuhan dan bunga
Sisanya dikembalikan lagi ke samudera
SHT, 280420
#RumahSeni_AstiRadmila
Zuhud merupakan salah satu kata yang sering dikaitkan dengan kehidupan dunia yang tidak abadi dan penuh kefanaan sehingga harus disadari bahwa manusia hendaknya tidak melupakan kehidupan akhirat. Kata zuhud diterangkan dalam firman Allah yang memiliki arti sebagai berikut.
“Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Adapun puisi yang berjudul “Muslim Zuhud” memiliki makna bahwa muslim tersebut adalah muslim yang senantiasa memahami bahwa kehidupan dunia adalah kefanaan dan tidak abadi, sementara kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang kekal. Pemilihan kata “muslim” menunjukkan bahwa di samping muslim zuhud, terdapat juga muslim yang lebih menggilai dunia dan melupakan akhirat. Larik “Muslim zuhud itu seperti samudera” memuat kata “samudera” yang memiliki makna lautan yang luas yang sambung-menyambung meliputi permukaan bumi. Penyair mengumpamakan muslim zuhud adalah seseorang yang luas hatinya, seperti lautan. Seseorang yang tidak memiliki kecenderungan yang besar terhadap dunia sebagai sesuatu yang fana dapat memiliki keluasan hati sehingga hatinya tidak akan rusak oleh permasalahan duniawi. Adapun zuhud bukanlah meninggalkan dunia secara total. Hal demikian juga tergambar melalui kisah Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman. Keduanya adalah penguasa yang memiliki kekuasaan yang luas. Namun demikian, kekuasaan tersebut tidak menjadikan para nabi tidak berzuhud.
Kalau dia menolak cahaya matahari maka
Diuapkan airnya menjadi awan agar manusia
Mampu menunggu harapan hujan
Pada larik-larik di atas, digambarkan gejala atau fenomena alam berupa hujan yang merupakan salah satu gambaran bahwa muslim yang berzuhud bukanlah mengharamkan yang halal atau menyianyikannya, melainkan mempercayai bahwa yang Allah kehendaki adalah yang terbaik. Dalam hal ini, penyair menggambarkan bahwa muslim yang zuhud diumpamakan sebagai samudra yang apabila menolak cahaya matahari, maka ia akan menguapkan airnya sehingga turunlah hujan. Hal demikian menunjukkan bahwa seorang yang berzuhud selalu mengutamakan berbuat kebaikan untuk meraih rida Allah. Seperti yang disampaikan oleh Muslim dalam artikelnya yang berjudul “3 Makna Zuhud” (2011), zuhud dapat dimaknai sebagai sikap seorang hamba yang lebih meyakini rezeki dari-Nya. Hal demikian sebagaimana dalam Qur’an Surat Adz Dzaariyaat Ayat 22 yang memiliki arti:
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (Adz Dzaariyaat: 22)
Muslim zuhud tidak akan takut dan khawatir akan kefakiran. Hal demikian karena Allah adalah pemilik semesta dan segala isinya. Manusia yang berzuhud mengetahui hakikat dunia dan akhirat. Seumpama samudra yang menolak berkas cahaya matahari dan diuapkannya air sehingga membentuk awan sampai turunlah hujan. Muslim yang berzuhud dapat memaknai kehidupan dunia sebagai sesuatu yang penuh kesenangan yang menipu. Adapun berikut adalah analisis bait selanjutnya yang menggambarkan muslim zuhud.
Ia seperti sungai
Saat air memenuhi punggungnya maka
Sebagian diserapnya ke dalam tanah
Menumbuhkan tumbuhan dan bunga
Sisanya dikembalikan lagi ke samudera
Penyair menuliskan bahwa muslim zuhud seperti sungai. Sungai sendiri merupakan aliran air yang besar dan memanjang. Air tersebut mengalir secara terus-menerus dari hulu menuju hilir. Sementara air sendiri merupakan salah satu bagian panting bagi kehidupan di bumi. Maka, muslim zuhud seperti sungai yang selalu mengalirkan air yang bermanfaat untuk seluruh mahkluk. Seorang muslim yang berzuhud menggunakan hartanya seperlunya dan membiarkan hartanya bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan alam. Hal demikian menggambarkan bahwa muslim zuhud senantiasa memberikan manfaat terhadap sesama. Ia meyakini apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik baginya. Keyakinan akan kehidupan akhirat lebih utama menjadikan ia terus berupaya melakukan amal sebanyak-banyaknya.
Seperti halnya mata air, mata air yang jernih memberikan banyak manfaat bagi kehidupan, tidak hanya manusia, tetapi juga seluruh alam semesta. Dalam puisi di atas, penyair menuliskan bahwa air tersebut sebagian diserap oleh tanah sehingga tumbuhlah berbagai tanaman. Selain itu, sebagian lainnya dikebalikan ke Samudera. Seperti itulah, manusia yang meyakini bahwa kehidupan dunia ini penuh dengan kefanaan dan kehidupan akhirat adalah kekekalan bagi seluruh mahkluk ciptaan-Nya. Huda dalam artikel berjudul “Zuhud” (2009) mengemukakan bahwa zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi manusia yang menjalaninya adalah zuhud yang dicintai oleh Allah dan Rasulullah. Sesuatu yang memberikan manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya merupakan salah satu jenis ibadah ketaatan. Hal demikian disampaikan oleh Rasulullah sebagai berikut.
“Carilah apa yang
bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits
no. 4816)
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka puisi berjudul “Muslim Zuhud” menggambarkan manusia
yang berzuhud seumpama samudra dan sungai. Samudra yang menolak cahaya matahari
dan menguapkan air sehingga turunlah hujan. Sungai yang dialiri air, air yang
dibiarkannya diserap tanah untuk kehidupan tumbuhan dan air yang dibiarkannya
kembali ke samudera. Hal demikian menggambarkan bahwa manusia yang berzuhud tidak terperdaya dengan kehidupan
dunia sehingga melupakan kehidupan kekal di akhirat.
Daftar Pustaka
Amir. (2013). Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Andi.
Dalman. (2015). Keterampilan Menulis. Jakarta: Rajawali Pers.
Endraswara. (2013). Metodologi Kritik Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Huda. 2009. “Zuhud”. Diakses dari https://muslim.or.id/617-zuhud.html. 28 April 2020, 15.00.
Muslim. 2011. “3 Makna Zuhud”. Diakses dari https://muslim.or.id/5687-3-makna-zuhud.html. 28 April 2020, 15.52.
Semi, Atar. (1988). Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa.
Waluyo, Herman J. (2002). Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zuhud dalam karya sastra
BalasHapusBetul, Kak. Nice, terima kasih sudah komentar
Hapus