Gugur


Kau sedang mengetuk hatiku, saat itu, tetapi celah itu tertutup rapat oleh rasa sakit yang luar biasa. Kau terus menunggui pintu itu terbuka, meski sedikit sesak, tak santun kuucapkan segala penat tentangmu. Sementara, kau masih menyandarkan diriku di tepian hujan, di malam yang sama, di rumah yang hampir roboh. 

Namaku, Dandeleon, bunga yang tak pernah berhenti tumbuh di halaman bukumu. Aku selalu melihatmu lewat tetesan tinta yang kau tuangkan. Terlihat berat, meski kenyataanya ikatan-ikatan itu tetap ringan dalam ingatan. Ia adalah senyawa kehidupan, tidak mengubah bentuk, tidak mengubah rasa. Dialah warna khaki yang kau cintai pada jaketmu, hangat memelukmu. Dialah tali yang melilit sepatumu, menuntunmu berjalan jauh, meski kau akan tetap menangis, terisak penuh penyesalan. 

Beberapa hari yang lalu, seseorang yang tak pernah kubayangkan akan pergi, akhirnya memutuskan pergi. Tanpa kalimat akhir yang jelas, meninggalkan hitam di sudut hati. Lebam, tak kalah menyakitkan dari hujan yang tak jatuh di kotamu, meramu kekeringan, juga senyuman muram. Saat itu, kau benar-benar yakin untuk pergi, Sabari. Hingga kau tak mau membalas semua pesanku. Menghancurkan hatiku begitu saja. Dan aku telah benar-benar menceraikan hatiku yang membatu mencintaimu. Aku benar-benar mengutuk hatiku yang larut dalam penantian tak pasti.

Aku membawanya pergi, hingga menikahlah aku dengan seorang lelaki biasa. Dia yang setiap harinya, mengurung sepi untuk menyaksikan Dandeleon gugur setiap hari. Air matanya bagai aliran air di tepian sungai. Dan tentu, ajaibnya janjimu sudah benar-benar mengabu di udara. Kini, sesak adalah normalnya hidup setelah memutuskan ikut pergi. Pernikahan ini sungguh tidak mudah, Sabari. Semuanya adalah ujian. Mencintai adalah perjuangan mati-matian di medan kehidupanku. Tentu akan kulakukan kembali di setiap pagi, setelah cicit burung hinggap di telingaku.


Komentar