Pagi itu, aku melihat Diana terbujur kaku di dalam
ruangan sempit, ruangan tengah di rumahnya yang kecil. Aku yang merasa tidak
percaya, akhirnya terjatuh tepat di antara kerumunan manusia, isakkan terdengar
di mana-mana, tidak terhenti air mata seperti menetes begitu derasnya. Tak ada
yang percaya, Diana gadis manis itu meninggalkan alam ini. Aku bahkan tidak
melihat cacat di tubuhnya, dia masih hangat, pipinya seperti hendak menerbenamkan
diri, dia masih seperti disini.
Mataku yang sembab, mencoba melekat lebih dalam
dengan hatiku. Sinkronisasi yang sempurna, setiap kali aku membiarkan mataku
terjaga, aku melihat Diana, sahabat baikku yang tengah mencintaiku. Aku dan
Diana, aku mencium pipi merahnya, dia mengusap air mataku, tangannya memelukku
erat, dia tersenyum penuh cinta padaku, seperti biasanya. Aku mendekapnya erat
sekali, tapi tidak ada sepatah kata pun yang sempat ku dengar dari bibir
ranumnya, kamu cantik sekali Diana, ku gapai jemarinya yang mencoba melepaskan
diri, sungguh dia menyeka air mataku lagi.
Aku kembali menyadarinya. Sahabatku ini telah
kembali pada tempat ia berasal. Tak banyak yang aku katakan, aku hanya menangis
dan menangis. Mana mungkin aku melewatinya sendiri, sementara perutku sudah
semakin membesar. Sudah enam minggu, sudah nampak sesuatu yang lain dari tubuhku.
Aku sendiri tanpa Diana. Aku tak lagi bisa menceritakan sesuatu yang lain ini,
aku tak bisa Diana.
Diana, apakah aku salah? Menyembunyikan semuanya
dari yang lain. Orang tuaku pun tidak sadar, mereka hanya menyangka nafsu makanku
meningkat, sehingga badanku agak gemukkan. Padahal, di dalam batinku ada
pergulatan. Aku tidak bisa menyembunyikannya sendiri, aku membutuhkan tempat.
Tapi, adakah tempat untuk aku?
Di tempatku ini, banyak sekali gadis yang seperti
aku. Tapi, aku tak bisa seperti mereka yang seperti kehilangan malu, menganggap
lazim, kondisi ini pahit untukku. Diana, aku mulai merasakan kasih sayangku
ini, aku mencintai calon anakku ini. Semoga kelak ia sepertimu, bukan
sepertiku, bukan seperti laki-laki itu.
Aku menutup mataku, mencoba menghadapi diriku ini.
Aku melihat sosok yang lain dari diriku, ia menangis Diana. Tangannya seperti
tanganmu, namun ia begitu adanya. Aku menatapnya, ia menghapus air matanya,
mencoba tersenyum padaku. Aku menatapnya lagi, lihat Diana dia memelukku. Aku melihat
dia kedinginan, dia memintaku kembali mengeratkan pelukan itu. Dia mencoba
menerangkan, tiada ruang yang bisa menerima dia dengan baik. Dan aku mengusap
air matanya, ku penuhi keinginannya.
Aku merasa iba, dia seperti menyesali semuanya. Lihatlah
Diana, apakah mungkin penyesalan yang dirasakannya dapat merubah keadaan? Aku
tahu, ini tidak akan merubah, namun akan membuat dia belajar.
Malam-malam selanjuntnya kulalui bersama anakku yang
masih di dalam perutku. Aku mengelus-ngelusnya, bercerita mengenai Diana. Dia
sepertinya menyukai Diana, sama halnya seperti aku. Di tengah penceritaan, air
mataku menetes begitu saja, aku sadar akan kehinaan yang kumiliki, aku tidak
pantas menjadi ibu dari anakku ini. Aku malu, ketika memperkenalkan diriku
sebagai ibunya.
“Nak, ini ibu. Ibu menyayangimu.” Ucapku halus,
mengelus perutku.
SMA sudah selesai. Seperti biasanya, aku selalu
menjadi siswa berprestasi. Aku masuk di salah satu universitas terkenal di
Bandung, aku mengambil ilmu psikologi. Kali ini, aku pergi dari rumah dengan
sebuah harapan, kelak aku bisa melahirkan anakku di rumah sakit tanpa perlu
takut orang tuaku akan terkena serangan jantung, karena merasa kaget puterinya
melahirkan.
Hari-hari kulewati di kota Bandung. Teman-teman di
kampusku mengiraku sudah menikah, ya, jelas saja karena aku juga memperkenalkan
diriku dengan status menikah. Terkadang mereka suka mengantarku check up ke dokter kandungan, karena iba
melihat ibu hamil tanpa seorang suami.
Jujur saja, aku merasa berdosa telah memulai
pertemanan dengan cara yang tidak baik. Berulang kali aku menceritakan hal-hal
yang tidak pernah kualami. Aku hanya mampu berbuat kebohongan, bukan untukku,
tapi untuk anakku kelak dan juga orang tuaku. Aku senang, di sini teman-teman
baruku dapat menerimaku dengan baik.
Menjadi wanita hamil bukanlah hal yang sulit. Entah
mengapa, aku menikmati tidurku yang sering sekali kesulitan menemukan posisi
yang nyaman, aku juga mulai menyukai susu ibu hamil yang ku konsumsi selama
kehamilan, aku juga terbiasa berbicara dengan anakku, meskipun sampai detik ini
aku masih malu mengatakan akulah ibunya.
Malam itu, aku terbangun dengan penuh rasa cemas.
Aku menangis tidak tahu mengapa, penerimaanku selama ini seakan tiada, ada rasa
sesal di dadaku. Aku meminta ampun dalam sholatku setiap waktu, aku meminta
Allah mengampuni dosaku, aku sadar seharusnya aku terbuka dengan orang tuaku.
Aku merasa sendiri, di sela-sela kesakitan yang kuderita.
“Kamu harus bahagia, Nak. Ini ibu, yang Allah
kirimkan untuk menjagamu.” Ucapku lirih.
Aku menangis tiada terhenti. Aku benar-benar
terpenjara, aku tidak bisa meminta orang lain untuk mau menerima segala
kekuranganku. Aku menatap foto sahabatku, Diana. Mengingat apa yang selama ini
Ia berikan untukku. Ada satu hal yang ia titipkan padaku, ialah fitrahku
sebagai perempuan dan fitrahku saat ini sebagai seorang ibu.
Siapa yang tidak memandang rendah diriku? Aku hamil
karena diperkosa. Kamal, lelaki yang dulu pernah kutolak, ternyata berani merendahkan
diriku. Di depan Diana, aku disered ke ruangan gelap, dengan berani dia
menatapku dekat, mengatakan kekesalannya. Aku tidak tahu apa yang Kamal lakukan
selama aku pingsan karena obat biusnya, saat sadar aku melihat Diana menangis
di hadapanku.
Aku terus meminta Diana menjelaskan, tapi Diana
hanya memintaku untuk memeluknya. Aku mendengar apa pun yang keluar dari mulut
Diana, termasuk perbuatan keji Kamal.
Aku menangis kencang sekali. Tubuhku penuh air,
entah air apa yang ditumpahkan Kamal di tubuhku, luka, darah juga, semua
menempel di rok abu-abuku. Aku menatap dalam wajah Diana, dan berusaha
mengatakan bahwa aku ingin pergi dari kehidupan ini.
Setelah kejadian itu, Diana adalah satu-satunya
teman dekatku. Dia membantuku untuk bangkit, dia yang mengajariku untuk tetap
bertahan, dia yang memberikan aku tempat untuk aku mengungkapkan kegelisahan
hatiku. Bagiku, ia sudah seperti kakak perempuanku.
“Iris, nanti ketika anakmu lahir, pasti dia akan
menyayangimu. Dia akan menjagamu, melebihi penjagaanku padamu.” Ucap Diana.
Aku mengangguk. Melihat Ia tetap di sampingku,
menemani hari-hariku yang berbeda.
Hampir setiap hari, aku bertemu dengan Kamal. Dia
menatapku, menyatakan rasa sesalnya. Dalam hati, aku ingin sekali menampar
wajahnya, mengatakan kalau sudah habis maafku untuk laki-laki seperti dia.
Aku tidak mengatakan kehamilanku pada Kamal. Meski
kamal pernah menanyakannya melalui pesan singkat.
“Iris, kamu hamil?”
“Aku akan menikahimu, kamu jangan takut.”
Aku hanya merasa dilukai.
Cirebon, 12-05-2015, 21:16 WIB
good!
BalasHapusluarbiasa!
BalasHapusAamiin. Terima kasih.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMasyaAllah, terharu pisan
BalasHapusKerennn tik seperti biasa.
BalasHapus