Dianaku



Diana namanya, dia cantik juga  baik hati. Aku menyukainya, begitupun semua teman-temanku, maksudku yang juga temannya. Sebut saja, Iris. Nama lengkapku Irsyiana Madrian, aku sahabat baik Diana. 

Pagi itu, aku melihat Diana terbujur kaku di dalam ruangan sempit, ruangan tengah di rumahnya yang kecil. Aku yang merasa tidak percaya, akhirnya terjatuh tepat di antara kerumunan manusia, isakkan terdengar di mana-mana, tidak terhenti air mata seperti menetes begitu derasnya. Tak ada yang percaya, Diana gadis manis itu meninggalkan alam ini. Aku bahkan tidak melihat cacat di tubuhnya, dia masih hangat, pipinya seperti hendak menerbenamkan diri, dia masih seperti disini.

Mataku yang sembab, mencoba melekat lebih dalam dengan hatiku. Sinkronisasi yang sempurna, setiap kali aku membiarkan mataku terjaga, aku melihat Diana, sahabat baikku yang tengah mencintaiku. Aku dan Diana, aku mencium pipi merahnya, dia mengusap air mataku, tangannya memelukku erat, dia tersenyum penuh cinta padaku, seperti biasanya. Aku mendekapnya erat sekali, tapi tidak ada sepatah kata pun yang sempat ku dengar dari bibir ranumnya, kamu cantik sekali Diana, ku gapai jemarinya yang mencoba melepaskan diri, sungguh dia menyeka air mataku lagi.

Aku kembali menyadarinya. Sahabatku ini telah kembali pada tempat ia berasal. Tak banyak yang aku katakan, aku hanya menangis dan menangis. Mana mungkin aku melewatinya sendiri, sementara perutku sudah semakin membesar. Sudah enam minggu, sudah nampak sesuatu yang lain dari tubuhku. Aku sendiri tanpa Diana. Aku tak lagi bisa menceritakan sesuatu yang lain ini, aku tak bisa Diana. 

Diana, apakah aku salah? Menyembunyikan semuanya dari yang lain. Orang tuaku pun tidak sadar, mereka hanya menyangka nafsu makanku meningkat, sehingga badanku agak gemukkan. Padahal, di dalam batinku ada pergulatan. Aku tidak bisa menyembunyikannya sendiri, aku membutuhkan tempat. Tapi, adakah tempat untuk aku?

Di tempatku ini, banyak sekali gadis yang seperti aku. Tapi, aku tak bisa seperti mereka yang seperti kehilangan malu, menganggap lazim, kondisi ini pahit untukku. Diana, aku mulai merasakan kasih sayangku ini, aku mencintai calon anakku ini. Semoga kelak ia sepertimu, bukan sepertiku, bukan seperti laki-laki itu.

Aku menutup mataku, mencoba menghadapi diriku ini. Aku melihat sosok yang lain dari diriku, ia menangis Diana. Tangannya seperti tanganmu, namun ia begitu adanya. Aku menatapnya, ia menghapus air matanya, mencoba tersenyum padaku. Aku menatapnya lagi, lihat Diana dia memelukku. Aku melihat dia kedinginan, dia memintaku kembali mengeratkan pelukan itu. Dia mencoba menerangkan, tiada ruang yang bisa menerima dia dengan baik. Dan aku mengusap air matanya, ku penuhi keinginannya. 

Aku merasa iba, dia seperti menyesali semuanya. Lihatlah Diana, apakah mungkin penyesalan yang dirasakannya dapat merubah keadaan? Aku tahu, ini tidak akan merubah, namun akan membuat dia belajar. 

Malam-malam selanjuntnya kulalui bersama anakku yang masih di dalam perutku. Aku mengelus-ngelusnya, bercerita mengenai Diana. Dia sepertinya menyukai Diana, sama halnya seperti aku. Di tengah penceritaan, air mataku menetes begitu saja, aku sadar akan kehinaan yang kumiliki, aku tidak pantas menjadi ibu dari anakku ini. Aku malu, ketika memperkenalkan diriku sebagai ibunya. 

“Nak, ini ibu. Ibu menyayangimu.” Ucapku halus, mengelus perutku.

SMA sudah selesai. Seperti biasanya, aku selalu menjadi siswa berprestasi. Aku masuk di salah satu universitas terkenal di Bandung, aku mengambil ilmu psikologi. Kali ini, aku pergi dari rumah dengan sebuah harapan, kelak aku bisa melahirkan anakku di rumah sakit tanpa perlu takut orang tuaku akan terkena serangan jantung, karena merasa kaget puterinya melahirkan. 

Hari-hari kulewati di kota Bandung. Teman-teman di kampusku mengiraku sudah menikah, ya, jelas saja karena aku juga memperkenalkan diriku dengan status menikah. Terkadang mereka suka mengantarku check up ke dokter kandungan, karena iba melihat ibu hamil tanpa seorang suami. 

Jujur saja, aku merasa berdosa telah memulai pertemanan dengan cara yang tidak baik. Berulang kali aku menceritakan hal-hal yang tidak pernah kualami. Aku hanya mampu berbuat kebohongan, bukan untukku, tapi untuk anakku kelak dan juga orang tuaku. Aku senang, di sini teman-teman baruku dapat menerimaku dengan baik. 

Menjadi wanita hamil bukanlah hal yang sulit. Entah mengapa, aku menikmati tidurku yang sering sekali kesulitan menemukan posisi yang nyaman, aku juga mulai menyukai susu ibu hamil yang ku konsumsi selama kehamilan, aku juga terbiasa berbicara dengan anakku, meskipun sampai detik ini aku masih malu mengatakan akulah ibunya.

Malam itu, aku terbangun dengan penuh rasa cemas. Aku menangis tidak tahu mengapa, penerimaanku selama ini seakan tiada, ada rasa sesal di dadaku. Aku meminta ampun dalam sholatku setiap waktu, aku meminta Allah mengampuni dosaku, aku sadar seharusnya aku terbuka dengan orang tuaku. Aku merasa sendiri, di sela-sela kesakitan yang kuderita.

“Kamu harus bahagia, Nak. Ini ibu, yang Allah kirimkan untuk menjagamu.” Ucapku lirih.

Aku menangis tiada terhenti. Aku benar-benar terpenjara, aku tidak bisa meminta orang lain untuk mau menerima segala kekuranganku. Aku menatap foto sahabatku, Diana. Mengingat apa yang selama ini Ia berikan untukku. Ada satu hal yang ia titipkan padaku, ialah fitrahku sebagai perempuan dan fitrahku saat ini sebagai seorang ibu.

Siapa yang tidak memandang rendah diriku? Aku hamil karena diperkosa. Kamal, lelaki yang dulu pernah kutolak, ternyata berani merendahkan diriku. Di depan Diana, aku disered ke ruangan gelap, dengan berani dia menatapku dekat, mengatakan kekesalannya. Aku tidak tahu apa yang Kamal lakukan selama aku pingsan karena obat biusnya, saat sadar aku melihat Diana menangis di hadapanku.

Aku terus meminta Diana menjelaskan, tapi Diana hanya memintaku untuk memeluknya. Aku mendengar apa pun yang keluar dari mulut Diana, termasuk perbuatan keji Kamal.

Aku menangis kencang sekali. Tubuhku penuh air, entah air apa yang ditumpahkan Kamal di tubuhku, luka, darah juga, semua menempel di rok abu-abuku. Aku menatap dalam wajah Diana, dan berusaha mengatakan bahwa aku ingin pergi dari kehidupan ini.

Setelah kejadian itu, Diana adalah satu-satunya teman dekatku. Dia membantuku untuk bangkit, dia yang mengajariku untuk tetap bertahan, dia yang memberikan aku tempat untuk aku mengungkapkan kegelisahan hatiku. Bagiku, ia sudah seperti kakak perempuanku. 

“Iris, nanti ketika anakmu lahir, pasti dia akan menyayangimu. Dia akan menjagamu, melebihi penjagaanku padamu.” Ucap Diana.

Aku mengangguk. Melihat Ia tetap di sampingku, menemani hari-hariku yang berbeda.
Hampir setiap hari, aku bertemu dengan Kamal. Dia menatapku, menyatakan rasa sesalnya. Dalam hati, aku ingin sekali menampar wajahnya, mengatakan kalau sudah habis maafku untuk laki-laki seperti dia. 

Aku tidak mengatakan kehamilanku pada Kamal. Meski kamal pernah menanyakannya melalui pesan singkat.

“Iris, kamu hamil?”
“Aku akan menikahimu, kamu jangan takut.”
Aku hanya merasa dilukai.

Cirebon, 12-05-2015, 21:16 WIB

Komentar

Posting Komentar